Assalamu`alaikum
Wr. Wb
Semangat pagi sejawat
akademik Indonesia J
Kali ini saya akan
membagi postingan menarik tentang salah satu kekayaan yang di miliki oleh
bangsa Indonesia yang belum tercampur dengan adat manapun dan dengan
perkembangan zaman sekalipun. Tulisan tentang Keunikan Masyarakat Kanekes (Baduy) ini bukan merupakan tulisan
saya sendiri melainkan saya repost
dari salah satu blog yang menarik perhatian saya tentang salah satu tulisannya
mengenai masyarakat Kanekes ini.
Salah satu tulisan yang
saya dapatkan yaitu mengenai Kebudayaan Masyarakyat Kanekes yang diposting oleh Diemas Dhamardjati. Alasan saya
menulis tentang keunikan masyarakat kanekes yaitu untuk mengetahui terlebih
dahulu kebudayaan apa saja yang sudah dijalankan disana, sehingga saya bisa
mendapatkan informasi yang lebih mendalam jika saya berkesempatan berkunjung
kesana. Karena tanpa mencari tahu terlebih dahulu tentang suatu kebudayaan
masyrakat yang akan kita kunjungi bagaikan orang yang berjalan tanpa arah.
Seperti yang banyak orang ketahui Baduy adalah salah satu
suku yang masih berdiri dengan kokoh tanpa mengizinkan siapapun mengusik adat
istiadat mereka. Namun, walaupun begitu ketatnya kebudayaan disana tidak
menutup bagi siapa saja yang ingin berkunjung dan mempelajari kearifan lokal
mereka. Karena dari beberapa cerita yang saya dengar, mereka tidak membolehkan
orang yang datang untuk mengambil gambar, mandi menggunakan sabun, dll. Begitu
ketat dan disiplinnya masyarakat kanekes terhadap budaya mereka, Subhanallah. Berikut ilmu yang dapat
menambah banyak wawasan tentang masyarakat baduy, mulai dari sebutan masyarakat
Kanekes yang sebenarnya paling tidak suka di sebut dengan suku baduy, Tata Cara
Berpakaian, Tata Cara Menanam Padi, Bentuk Rumah Dan Proses Pembuatannya, Kebiasaan
Nyirih/Nyeupah Pada Masyarakat Kanekes
Dalam, Jembatan Tanpa Paku, Pembuatan Gula Aren/Merah, Proses Penguburan Orang
Meninggal, Ronda Siang, sampai tentang keberadaan Binatang Kaki Empat disana.
Selamat berproses J.
“… Ada
sesuatu milik Urang Kanekes yang sanggup memperkaya batin kita. Sesuatu yang
hampir sirna dalam alam modern ini. Kearifan. Citra “Kanekes masyarakat
terasing” adalah keliru. Mereka punya wawasan luas tentang hidup ini. Alam
modern telah kerap bertandang, namun kerarifan Urang Kanekes tetap gigih
membendungnya. Pikukuh itu patut kita pahami. Rasa hormat kepada kearifan Urang
Kanekes yang mendorong kami untuk menceritakan hidup keseharian mereka kepada
anda. Dengan upaya tetap berpegang pada kejujuran sebagaimana tercermin pada :
“neda
Agungna Parahun, neda Panjangna Hampura, bisi nebuk sisikuna, bisi nincak
lorongannana – lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu
enya ku dienyakeun, nu henteu kudu dihenteukeun”(Yudistira Kartiwa Garna 1987)
Desa Kanekes terletak di Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten (dahulu Jawa Barat). Di daerah hulu aliran (sungai) Ci
Ujung, pada sisi utara Pegunungan Kendeng di kawasan Banten Selatan. Menurut
anggapan umum orang Sunda, penamaan atau sebutan Kanekes diambil dari nama
(Sungai) Ci Kanekes yang mengalir di kawasan ini sehingga penduduk Desa kanekes
menamakan dirinya Urang Kanekes (Orang Kanekes),tetapi orang Luar lebih
mengenalnya dengan sebutan Orang Baduy. Sebutan yang”sangat tidak disukai” oleh
Urang Kanekes, walau di wilayah ini ada bukit yang disebut Gunung Baduy dan
didekatnya mengalir (sungai) Ci Baduy.
Sebutan Baduy menjadi populer dikalangan umum (luar) karena
daerah Baduy merupakan pintu gerbang pertama untuk masuk ke daerah Kanekes,
lagi pula penduduknya terbiasa bepergian keluar dan bergaul dengan penduduk di
sekitarnya sehingga itu orang luar lebih mengenal “Urang Baduy”.
Dalam pandangan Urang Kanekes, kelompok Baduy ini lebih
mirip “orang luar” dari pada Urang Kanekes dan merekapun tidak merasa terwakili
oleh penampilan Urang Baduy yang dipandangnya hanya sedikit sekali berpegang
pada tradisi Kanekes. Di samping itu, istilah Baduy sering dihubungkan oleh
kalangan luar dengan istilah “Baduwi” yakni salah satu suku arab yang hidup
liar dan tidak hidup menetap tetapi selalu mengembara dari satu tempat ke
tempat lain–nomaden. Ketidakmengertian kalangan luar menganggap Urang Kanekes
pelarian Pajajaran yang sengaja sembunyi kepegunungan karena tidak mau masuk
agama Islam.
Kenyataannya Urang Kanekes di kawasan Lebak telah menghuni
secara turun temurun sejak sebelum Pajajaran hadir, maka dengan tandang Urang
Kanekes menyatakan tegas bahwa dirinya adalah Sunda nu Wiwitan. Barangkali
prasasti Cidanghiyang (abad 4—5 Masehi) yang kini masih insitu di kawasan ini
dapat dijadikan tonggak sejarah yang sulit ditolak sebagai bukti keberadaan
Urang Kanekes dan perangkat kehidupan kebudayaannya memiliki kepribadian
tangguh kasundaan dibandingkan dengan yang mengaku Urang Sunda di Jawa Barat.
Salah satu kesulitan penelitian diKanekes adalah benturan
adat tidak membolehkan semah (tamu) menetap lebih dari 3 hari terutama orang
asing (foreigner) sama sekali dilarang masuk. Kesempatan berbicara untuk menuai
informasi merupakan sesuatu yang sangat mahal karena kesempatan hanya terbuka
sekali setahun saja. Terlebih lagi ada kerarifan Urang Kanekes yang bersifat
pendiam atau sengaja tutup mulut, bilamana tidak perlu benar maka mereka cukup
menjawab “teu wasa”.
Informasi yang leluasa dapat diperoleh bila ada Urang
Panamping (Baduy Luar = Urang Hilir), walau harus diakui bahwa di dalam
beberapa hal nilainya sebagai sumber informasi lebih dalam daripada informasi
Urang Tangtu (Baduy Dalam= Kajeroan= Urang Girang) yang merupakan “elite”
komunitas ini.
Satu hal terpenting yang kerap terluput dari penelitian
selama ini adalah mandala yang selalu disebut-sebut di dalam setiap peristiwa
ritual untuk menyebut hunian tempat mereka hidup. Mandala Kanekes adalah tanah
suci yang diwariskan leluhur (nenek-moyang) mereka secara turun temurun. Karena
itu harus dijaga, dipelihara, dipertahankan dan tidak boleh diinjak oleh
sembarang orang. Penduduk Kanekes sendiri diperkenankan menetap di tanah
Kanekes sepanjang tidak melanggar ketentuan adat yang selama ini telah menuntun
kehidupan sebagai simbol melaksanakan Tapa dina Mandala. Sedangkan leluhur
Urang Sunda secara umum melakukan Tapa di Nagara. Rumusan tradisi Urang Kanekes
bersendikan kehidupan Tapa dina Mandala yang didalam berbagai karyasastra Sunda
Kuno disebutkan:
“Carek napatikrama na urang lanang
wadwan, iya tuwah iya tapa. Iya tuwah na urang.Gwareng twah gwareng tapa, maja
twah maha tapa, rampes twah rampes tapa; apanaurang ku twahna mana beunghar, ku
twahna mana waya tapa” .
Urang Kanekes sebagai “pertapa” selalu bersamadi diterapkan
dengan cara rajin bekerja dan tekun, sedikit bicara dan bahkan hampir tidak
pernah menganggur seumur hidupnya. Karena bekerja adalah tapa mereka. Berladang
bagi Urang Kanekes bukan sekedar menanam padi atau palawija untuk makan
melainkan agar hidup berkecukupan dan tidak menyusahkan orang lain, sebab
perilaku menta (meminta) merupakan hal yang sangat tabudan harus dijauhi
(buyut).
Dari seluruh siklus kehidupan, adat berladang adalah
terpenting, karenanya daur kehidupan sehari-hari terpolakan sesuai dengan irama
perlandangan, tetapi sangat tabu (buyut) bersawah karena mencangkul atau
membongkar tanah dianggap merusak bumi. Tradisi berladang sebagai bagian tapa
dilestarikan melalui penghormatan terhadap benih padi atau co’o binih yang
disebut dengan julukan hormat Ambu Pwah
Aci Sang Hiyang Asri.
Peristiwa sakral yang dilakukan tiap tahun, co’o binih
ditanam di tanah lambang Ambu Pwah Aci Sang Hiyang Asri dikawinkan
(direremokeun) dengan mandala pageuh (bumi). Bertanam padi sebagai fokus budaya
yang dominan dalam kehidupan masyarakat Kanekes dilakukan melalui ritus
(upacara) masal. Urang Tangtu (Girang=Kajeroan) hanya sekali dalam setahun
membunyikan angkung yakni kala menanam padi huma serang (ladang milik bersama)
bertujuan menghibur padi, juga memainkan kecapi atau alat kesenian bambu yang
dimilikinya.
Secara etnik Urang Kanekes adalah orang Sunda, mereka mengaku Urang Sunda ditandai keyakinan
Sunda Wiwitan. Dalam lubuk hati mereka tertanam perasaan “Sunda lebih
Asli”dibandingkan dengan orang Sunda di luar Kanekes yang telah beralih menjadi
penganut Islam. Mitologi Kanekes menampil kan pandangan bahwa di Bumi
Kanekeslah awal kelahiran mandala Sunda. Bahasa mereka adalah bahasa Sunda
dialek Banten Selatan yang dapat dikatakan sedikit sekali dipengaruhi bahasa
dari luar (asing).
Mandala Kanekes mencakup tiga (kampung) disebut Tangtu yang
menurut istilah Kanekes berarti pasti (tentu), cakal bakal (pokok) dalam
kesatuan yang disebut Telu Tangtu yaitu Cibeo sebagai Tangtu Parahiyang; Cikartawana
sebagai Tangtu Kadu Kujang; dan Cikeusik sebagai Tangtu Pada Ageung.Telu
Tangtu inilah yang menjadi inti
kehidupan masyarakat Kanekes. Penduduk Tangtu adalah kelompok elite sesuai
kwalitas kemandalaannya yang tinggi, dari kalangan mereka pula diambil para
pejabat inti pemerintahan tradisional.
Di luar Telu Tangtu
terdapat kampung Panamping – Baduy Luar – kata panamping berasal dari
tamping yang menurut Urang Kanekes artinya buang (panamping = pembuangan)
tempat bagi UrangTangtu yang dikeluarkan karena melanggar adat. Namun
sebenarnya kata tamping juga dapat diterjemahkan sisi atau pinggir maka
panamping berarti pinggiran (daerah luar). Menurut pengakuan Ayah Dainah (Jaro
Pamarentah Kadu Ketug – Baduy Luar) yang tinggal di kampung Kadu Ketug di daerah
Ciboleger, sebenarnya yang disebut Baduy Luar bukan pembuangan tetapi kampung
mereka merupakan pintu gerbang (bagian hilir= lebak)menuju ke Baduy Jero (Girang) yang berada di daerah hulu
(tonggoh).
Kenyataannya sampai sekarang di Panamping banyak menetap
keturunan Urang Tangtu dan banyak kerabat keluarga dari Puun. Hubungan
kekerabatan diantara mereka tidak terganggu oleh status kemandalaan bahkan
berjalan dengan sangat baik serta akrab sebagai layaknya jalinan atau tali
persaudaraan. Namun kerabat di Panamping kerap “tahu diri”membatasi
pergaulannya dengan kerabat Kampung Tangtu.
Tempat tinggal kaum panamping berada di luar Tanah Larangan
dan mereka terikat kepada Tangtu Masing-masing dan dalam hal berlaku ketentuan
nyanghareup (menghadap).Bila seseorang warga Panamping tinggal di wilayah
Kapuunan Cikeusik nyanghareup ke Tangtu Cibeo sehingga dalam kegiatan-kegiatan
adat ia bergabung keKapuunan Cibeo dan berlaku sebaliknya. Hal itu terjadi
biasanya karena hubungan perkawinan antar kampung. Demikian pula warga Tangtu
Cikeusik yang berjodoh dengan wanita Tangtu Cibeo akan mengikuti istrinya
nyanghareup ke Tangtu Cibeo.
Di Kanekes juga terdapat kampung Dangka yang berada di luar
wilayah Kanekes. Dangka artinya rangka – tempat tinggal atau daerah permukiman,
namun menurut mitologi setempat artinya tempat pemukiman kaum raksasa di bawah
tanah bahkan dalam dialek Bogor artinya (pakaian) kotor. Adanya daerah
Panamping dan Dangka menunjukkan bahwa sebenarnya wilayah Kanekes lebih luas
daripada yang ada sekarang. Penetapan batas yang dilakukan oleh Pemerintah
Kolonial Hindia-Belanda telah menyempitkan wilayah Kanekes sampai batas
kemandalaannya, sehingga banyak yang tercecer di luar batas tersebut.
Selain berladang dan bercocoktanam, kegiatan sehari-hari
Masyarakat Kanekes adalah menenun dan
berdagang. Mereka membuat kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya
terbuat dari kulit kayu yang dianyam. Kemudian hasil kerajinan tangan dan
tenunan dijual diwilayah Kanekes Luar dan Kanekes Dalam. Terkadang mereka untuk
membeli sesuatu harus pergi keluar Desa Kanekes. Mereka biasa naik turun gunung
untuk pergi keluar, mencari kayu bakar dan berladang tanpa alas kaki.
Perjalanan sejauh apapun harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Perjalanan dari Kanekes Luar ke Kanekes Dalam dapat ditempuh
sekitar 4 jam, apalagi membawa rombongan. Namun untuk orang Kanekes sendiri,
mereka menempuh perjalanan sekitar 1 sampai 1,5 jam dengan jarak sekitar 15 KM.
Untuk medan yang normal jarak tersebut dapat ditempuh 1-1,5 jam.
1. Tata Cara Berpakaian
Cara berpakaian masyarakat, pada umumnya selalu menyesuaikan
dengan kondisi dan model pakaian yang beraneka ragam yang tentunya sesuai
dengan trend atau mode yang sedang bergulir, tentunya harganya pun mahal, namun
bagi masyarakat Kanekes mode atau model pakaian bukanlah prioritas utama yang
mereka tampilkan, pakaian mereka cukup sederhana dengan dua warna yang khas
yakni warna putih dan hitam/gelap. Ada satu ciri yang membedakan antara pakaian
orang Kanekes dalam dan Kanekes Luar, khususnya pada laki-laki yaitu warna baju
dan iket kepala (slayer) selalu berwarna putih, sedangkan pada masyarakat
Kanekes Luar ikat kepala bermotif batik dengan warna dasar biru dan baju warna
hitam, untuk bawahannya ( Celana ) orang Kanekes Dalam selalu mengenakan bahan
warna gelap dan cukup diikat dengan selembar kain pengikat berwarna putih yang
dijadikan sebagai penguat selembar bahan ( Celana tanpa dijahit) yang melingkar
dari pinggang hingga paha, pada kain yang melingkar tersebut selalu terselip
sebilah golok khas masyarakat Kanekes.
Sementara orang Kanekes Luar untuk bawahan sudah ada yang
mengenakan model celana agak lebar dan berwarna hitam serta kain pengikat pada
pinggang untuk menyelipkan sebilah golok. Sementara untuk kaum wanitanya tidak
terlalu berbeda yakni kain, baju warna hitam tutup kepala, perbedaannya adalah
pakaian wanita atau pria yang dipergunakan oleh masyarakat Kanekes Dalam tidak
dijahit dengan mesin jahit, melainkan dikaput ( dijahit ) dengan tangan saja,
sementara untuk masyarakat Kanekes Luar pakaian yang mereka kenakan sudah
dijahit dengan mesin jahit, bahkan membeli pakain yang sudah jadi.
Dan yang tak pernah ketinggalan adalah kain berbentuk bujur
sangkar berwarna putih yang berfungsi sebagai tas untuk menyimpan bekal selama
perjalanan atau tas jarog yang terbuat dari kulit kayu teureup yang telah
dianyam membentuk tas.
2. Tata Cara Menanam Padi
Indonesia terkenal dengan negara agraris dimana penduduknya
sebagian besar hidupnya dari hasil pertanian, proses penanaman padi pada
masyarakat pertanian selalu pada daerah datar pesawahanyang membentang dari
ujung keujung atau lahan pertaniannya berbentuk terasering dengan pengairan dan
irigasi yang sangat baik, pemupukan yang sangat modernserta penanaman dan
panennya bisa tiga kali dalam satu tahun dikarenakan kecanggihan teknologi.
Bagi masyarakat Kanekes menanam pada hanya satu kali dalam
satu tahun secara otomatis panennyapun hanya hanya satu kali. Masyarakat
Kenekes biasa menanam padi pada saat menjelang musim penghujan tiba, dan apa
yang unik dari pertanian di Kanekes khususnya padi. Masyarakat Kanekes menanam
padi ( Huma ) pada daerah dan tempat-tempat yang berbukit dan terjal, tanpa
pengairan, pupuk, alat modern atau dengan kata lain tanpa teknologi tepat guna.
Lalu bagaimana proses masyarakat menanam padinya?
Dari hasil wawancara dengan salah seorang warga Kenekes
bernama Mang Arji juga sekaligus guide untuk para tamu, memberikan informasi
sebagai berikut, ” Bahwa masyarakat Kanekes dalam menanam padi melalui
tahap-tahap seperti di bawah ini :
1). Nyacar
Atau memotong semua tanaman dan rerumputan serta pepohonan
kecil yang berupa semak belukar dengan menggunakan sebilah sabit, pada tahap
ini para petani huma membabat habis semua semak belukar yang diperkirakan akan
mengganggu tumbuhnya tanaman padi, sehingga padi akan tumbuh dengan baik.
2). Nutuhan
adalah memotong dahan-dahan pepohonan yang dapat mengganggu
dan menghalangi sinar matahari dalam prosesfotosintesa dan proses penyinaran
sempurna terhadap tanaman utama maupun tanaman penyela.
3). Ngaduruk
Merupakan kegiatan membakar semak belukar, ranting dan dahan
yang telah dipangkas habis pada kegiatan sebelumnya,dan hasil proses pembakaran
ini dijadikan sebagai penyubur tanaman atau pupuk.
4). Nyasap/Sasap
Kegiatan para petani huma untuk membersihkan rerumputan yang
baru tumbuh, dan rerumputan yang telah dibersihkan tersebut dibiarkan hingga
membusuk yang selanjutnya dapat pula dijadikan penyubur tanaman/ pupuk.
5). Ngaseuk
Dilakukan dengan menggunakan sebatang kayu sebesar kepalan
jari tangan yang diruncingkan pada bagian ujung kayu tersebut dan dipergunakan
untuk membuat lubang tempat menyimpan biji/bibit padi secara beraturan dan
dengan pentaan yang rapi sehingga kelihatan indah dipandang mata.
6). Ngored
Kegiatan membersihkan rerumputan yang tumbuh diantara
tanaman padi pada saat usia padi diperkirakan 2-3 minggu,sebab apabila ngored
tidak dilakukan maka kemungkinan besar sari makanan yang seharusnya untuk padi,
dihisap oleh tanaman hama atau rerumputan tersebut, yang pada akhirnya
pertumbuhan padi tidak sempurna karena banyaknya tanaman pengganggu/hama.
7). Mulihan
Merupakan kegiatan membersihkan rerumputan tahap ke dua
setelah usia padi sekitar 3 bulan, hal ini dilakukan untuk mengontrol
pertumbuhan padi dan juga merawat pertumbuhannya, jangan sampai ada tanaman
padi yang kurang bagus pertumbuhannya.
8). Ngala Pare/Panen
Pada tahap berikutnya sekitar usia padi 7 bulan, maka para
petani secara bersama-sama melakukan panen atau menuai padi dengan menggunakan
pisau etem dan tanaman padi sisa panen biasanya diinjak agar terlihat padi yang
mana yang belum diambil.
9). Moe Pare
Padi yang telah dituai selanjutnya dijemur di pematang huma
diatas sebatang bambu yang dibentangkan hingga padi-padi tersebut kering serta
siap untuk ditumbuk atau dimasukan ke leuit/lumbung padi.
11). Mawa Pare Ka Leuit
Padi yang telah dijemur dipematang huma hingga kering
tersebut kemudian dibawa dan disimpan di leuit yang selanjutnya siap dikonsumsi
baik dijual maupun dimakan.
12). Jami Huma
adalah kegiatan akhir proses penanaman padi huma/padi tadah
hujan, karena untuk mengairi humanya masyarakat Kanekes hanya mengandalkan
turunnya hujan. Kegiatan jami huma ini adalah kegiatan terakhir dan kegiatan
awal untuk memulai apabila akan datangnya musim hujan
3. Bentuk Rumah Dan Proses
Pembuatannya
Proses pembuatan rumah/membangun rumah selalu dikerjakan
secara gotong royong, yang menunjukkan bahwa masyarakat Kanekes sangat tinggi
rasa kebersamaannya. Adapun bentuk rumah tidak semewah rumah di kota-kota yang
dindingnya menggunakan pasir, semen, ditata dengan indah, diberikan berbagai
aksesoris dan hiasan dinding sesuai dengan keinginan pemilik rumah, namun pada masyarakat
Kanekes rumah mereka cukup sederhana,terbuat dari bahan-bahan seperti kayu yang
berasal dari alamnya, bilik bambu,atap rumbia, genting ijuk dan lain-lain yang
jelas sangat sederhana, dengan posisi semua rumah selalu menghadap utara
selatan, yang secara logika rumah menghadap utara selatan maka proses
pergantian dan penyinaran sinar matahari sangat baik, apabila pagi sinar
matahari masuk dari arah timur dansore hari sinar matahari masuk dari arah
barat, sehingga memiliki tingkat kesehatan yang sangat tinggi apalagi dengan
aktifitas mereka yang selalu berolah raga setiap hari, namun olah raga yang
mereka lakukan bukan olah raga yang pada umumnya dilakukan, olah raga yang
mereka lakukan adalah olah raga yang berkaitan dengan aktifitas mereka sehari-hari.
4.Kebiasaan Nyirih/Nyeupah Pada
Masyarakat Kanekes Dalam
Pada umumnya nyirih atau nyepah istilah sunda, dilakukan
oleh kaum wanita tua, namum nyirih/nyeupah selalu dilakukan oleh masyarakat
Kanekes baik pria maupun wanita, adapun manfaat nyirih menurut pengakuan mereka
adalah untuk menguatkan gigi, dan ternyata kebenaran itu terbukti ketika
penulis mengamati gigi mereka umumnya masih terpelihara rapi dan lengkap
walaupun bibir, mulut dan gigi mereka terlihat berwarna kemerah-merah karena
sisa nyirih/nyeupah yang mereka lakukan karena kebiasaan tersebut.
5. Jembatan Tanpa Paku
Dimanapun adanya yang bernama jembatan selalu terbuat dari
besi, beton atau kayu dan bembu yang diperkuat dengan menggunakan paku. Berbeda
dengan masyarakat Kanekes beberapa jembatan yang memisahkan perkampungan
Kanekes Luar dan Kanekes Dalam yang
dilintasi sungai Ciujung dan sungai Cibaduy tak ada satupun yang terbuat beton,
namun jembatan yang menghubungkan Kanekes Luar dan Dalam dengan lebar sekitar
12 meter, hanya dibuat dari susunan bambu tanpa menggunakan paku, tapi untuk
memberikan kekuatan pada jembatan tersebut mereka hanya mengikat dengan tambang
ijuk yang pembuatannya pada ujung-ujung yang bersebrangan selalu dihubungkan
dengan pepohonan yang tumbuh pada dua sisi sungai dan diikat erat dengan
menggunakan tali ijuk berwarna hitam.
6. Pembuatan Gula Aren/Merah
Selain bercocok tanam dan huma, masyarakat Kanekes selalu
berupaya mengisi waktu untuk menambah penghasilannya dengan melakukan kegiatan
membuat gula aren ( gula merah ) yang merupakansumber utamanya adalah pohon
aren yang ada disekitar alam pegunungan Kendeng.Hasil dari pembuatan gula aren
tersebut sebagian dijual ke pasar dan sebagian dijual dirumah mereka
masing-masing.
7. Proses Penguburan Orang Meninggal
Proses perawatan orang meninggal pada umumnya sama dengan
masyarakat luas namun yang unik dan berbeda dengan masyarakat luas adalah cara
penguburan mayat. Pemakaman umum pada masyarakat Kanekes selalu berada di
sebelah selatan dari perkampungan. Penguburan mayat pada masyarakat Kanekes
berbeda dengan masyarakat pada umumnya, perbedaan tersebut yakni bahwa
masyarakat luas umumnya kepala si mayat berada di sebelah utara dan muka
menghadap ke arah kiblat, namun pada masyarakat Kanekes orang yang meninggal ketika dikubur
mengahadap Barat dan Timur, dengan kepala si mayat berada disebelah Barat dan
muka menghadap ke Utara.
Lebih unik lagi bahwa kita tidak akan menemukan pemakaman
umum, karena cara mereka mengubur/menata kuburan beda dengan masyarakat luas
yakni yang selalu diberi ciri apakah pohon hanjuang atau pohon plamboyan, namum
pada masyrakat Kanekes tidak ada ciri khusus, bahkan kuburan dibuat rata
layaknya tanah datar, dan tidak ada ciri khusus, apabila mereka berziarah,
hanya cukup di rumah saja.
8. Ronda Siang
Pada umumnya, yang namanya ronda selalu dilaksanakan pada
malam hari, dimanapun adanya. Namun berbeda dengan masyarakat Kanekes terutama
masyarakat Kanekes Dalam, masyarakat Kanekes Dalam selalu melaksanakan tugas
ronda pada siang hari, dan pada hari-hari yang telah ditentukan para pemuda
khususnya yang berbaur dengan beberapa orang tua melaksanakan tugas ronda,
mereka tidak harus kemana-mana, cukup melakukan ronda di sekitar Cibeo
saja.Pada malam hari mereka tidur pulas untuk menyongsong pekerjaan yang telah
menanti di ladang keesokan harinya.
9.Binatang Kaki Empat
Di daerah mana di Indonesia ini yang tidak ada binatang
berkaki empat, yang dagingnya dapat dimanfaatkan atau dimakan, misalnya: kuda,
sapi, kerbau, kambing, babi, onta atau binatang kaki empat lainnya. Binatang
kaki empat selain anjing saja tidak ada, apalagi ojeg.
Selain anjing kita tidak akan pernah menemukan binatang kaki
empat di Baduy. Kerbau, sapi, kuda, onta atau lainnya tidak akan pernah kita
temukan di sana. Alasan mereka cukup singkat dan padat, yaitu karena adanya
larangan adat.
Dengan larangan adat saja mereka sangat mentaati. Tidak ada
bantahan-bantahan apalagi melanggarnya. Itulah ketaatan masyarakat Kanekes yang
selalu patuh dengan kebiasaan dan adat yang sudah melekat dalam diri mereka
sebagai warisan leluhur mereka.
Dengan palsafah ”
Lojor teumeunang dipotong, pondok teu meunag disambung”, masyarakat
Kanekes tidak pernah mengada-ada, akan
tetapi mereka hidup apa adanya dengan memanfaatkan alam yang ada tapi tidak
merusak alam, menggali potensi alam, tapi alam tidak carut marut, mengolah
lahan huma, tapi keseimbangan alam tetap dijaga. Selama potensi Masyarakat
Kanekes dan adat istiadatnya tetap dijaga, maka berbahagialah seluruh umat
manusia.
“Seribu atau dua ribu ekor pun tetap
tidak dapat. Engkau pintar. Ikan peda, banyak di kedai dan di toko. Ia tak
bernyawa, tak dapat bergerak. Engkau boleh mengambil sesuka hatimu, asal ada
uang. Tapi kancil makhluk bernyawa. Dikejar, ia lari, disergap, belum tentu
dapat. Andai kata permintaanmu itu kusanggupi, besok atau lusa pedamu sudah ada
di sini, sedang kancilku belum tentu ada. Betapa mungkin manusia “tigin ka
jangji bela ka lisan” (memenuhi janjinya dan perkataannya). Apabila kancil itu
ada di tanganku sekarang atau esok hari, dan engkau ada didepanku, mengapa
harus ditukar dengan peda, engkau boleh makan dagingnya sekenyang-kenyangnya”.
Cukup menambah wawasan bukan?, walaupun belum pernah kesana
dengan membaca beberapa kaunikan tentang baduy saja sudah membuat saya ingin
sekali berkunjung kesana, melihat secara langsung kebudayaan disana, merasakan
sendiri kearifan lokal masyarakat kanekes yang sangat kental. Semoga rasa
ketertarikan dan kekaguman saya dan kawan kawan bisa menambah knowledge dan pelajaran yang dapat dijadikan
pertimbangan serta menumbuhkan rasa bersyukur akan kekayaan alam dan
keberagaman suku-budaya yang kita miliki.
Salam Penulis,
Annisakhn
sumber :
Komentar
Posting Komentar